Rabu, September 03, 2014

Sejarah Perkembangan Wayang dan Jenisnya

Ngomong ngomong tentang budaya jawa, isapa sih yang tdak kenal wayang. langsung saja ke pengertian wayang

en.wikipedia.com


WAYANG KULIT

Pagelaran wayang kulit oleh dalang terkemuka di Indonesia, Ki Manteb Sudharsono.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawabagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.

Wayang klithik

        Wayang klithik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit.
Wayang ini pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan wayang krucil. Munculnya wayang menak yang terbuat dari kayu, membuat Sunan Pakubuwana II kemudian menciptakan wayang klithik yang terbuat dari kayu yang pipih (dua dimensi). Tangan wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda dengan wayang lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang terbuat dari kayu. Apabila pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang diyakini sebagai asal mula istilah penyebutan wayang klithik.
Di Jawa Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Di Jawa Timurtokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang purwa, raja-rajanya bermahkota dan memakaipraba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan.
Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan diPajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan wayang krucil memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun.
Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana, berlarasslendro dan berirama playon bangomati (srepegan). Ada kalanya wayang klithik menggunakan gending-gending besar.

Wayang golek

Wayang Golek Sunda
Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan.

Wayang beber

Wayang beber menampilkan adegan pertempuran
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata maupun Ramayana.
Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan dan memainkan wayang beber ini.[1]
Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamen yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.
Salah satu Wayang Beber tua ditemukan di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul.
Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun 1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmoro Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo. 

Pengertian wayang thengul

Wayang thengul. Thengul berasal dari bahasa jawa 'methentheng terus methungul'. Merupakan budaya asli kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Wayang thengul biasanya dimainkan pada acara hajatan sunat, perkawinan dan ruwatan. Dalam setiap pementasan ada sebuah mitos tentang lakon yang tidak boleh dipentaskan dan menjadi pantangan yang berlaku di daerah-daerah tertentu, tak ubahnya pantangan dalam pertunjukan kethoprak ataupun wayang kulit. Lakon-lakon yang tidak boleh dimainkan di daerah daerah tertentu antara lain lakon Ranggalawe gugur tidak boleh dipentaskan di daerah Tuban, Anglingdarma di daerah Bojonegoro dan Arya Panangsang di daerah Cepu.
Wayang thengul sendiri lebih dekat dengan wayang menak seperti kisah Panji dan Damarwulan, bahkan Wali Sanga pun kerap kali dipentaskan dan menjadi lakon favorit masyarakat.
Wayang tengul merupakan wayang berbentuk boneka yang terbuat dari kayu, mirip dengan wayang golek.

Wayang timplong

Wayang Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari daerah Nganjuk, Jawa Timur.
Kesenian tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa Jetis, Kecamatan Pace, provinsi Jawa Timur. Wayang ini terbuat dari kayu, baik kayu waru, mentaos, maupun pinus. Instrumen gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring, juga sangat sederhana. Hanya terdiri dari Gambang yang terbuat dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang

Wayang orang

Pandawa dan Kresna dalam suatu adegan pagelaran wayang wong.

Gedung Sriwedari Solo, tempat pagelaran Wayang orang
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.
Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.
Pertunjukan wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata (di kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari Solo, Taman Budaya Raden Saleh Semarang, dan lain-lain. 

Sejarah Wayang

Menguraikan penjelasan tentang kronologi sejarah wayang pada umumnya dan sejarah Wayang Menak Sasak khususnya, dimaksudkan untuk membantu memberikan gambaran umum tentang perubahan fungsi wayang dalam masyarakat Sasak. Kronologi historis yang dapat disajikan di sini bersifat diakronik (sejarah urutan peristiwa) dan dengan mengandalkan data-data sekunder, semisal penuturan lisan beberapa pengamat budaya di Lombok dan sumber-sumber data tertulis dari para pengkaji wayang.

Sekedar catatan, sumber data mengenai sejarah Wayang Menak Sasak dari penuturan lisan dan tulisan babad ini lebih banyak yang dapat dijumpai bersifat spekulasi. Karenanya, terkadang data lisan yang diberikan nara sumber lebih tampak sebagai suatu dongengan daripada sebuah fakta sejarah. Meskipun demikian, keberadaan dongeng sebagai cara menuturkan peristiwa masa lalu, bukan sesuatu yang mesti diabaikan. Kemauan untuk memungut dongeng sebagai bahan data bukan pertama-tama berangkat dari kehendak untuk mendapatkan validitas fakta, sebab di dalam dongeng validitas fakta diragukan. Memungut dongeng sebagai data lebih dikarenakan oleh kenyataan bahwa mendongeng adalah cara masyarakat –khususnya yang belum mapan dalam tradisi tulis— mengkonstruksi realitas masa lalu. Karena itu, meski data dari sumber lisan yang bersifat spekulasi (dongengan) ini diragukan kebenarannya, paling tidak penuturan itu telah sedikit memberi satu peluang untuk mengetahui bahwa sebuah peristiwa pernah terjadi pada masa itu.

Sejarah dan perkembangan wayang kulit

Asal-usul wayang kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli. Belum ada kesepakatan tentang apakah Wayang Kulit merupakan kesenian asli Indonesia, dari India atau dari negara lain. Kerancuan dalam menentukan asal usul wayang ini juga disebabkan perbedaan konsep tentang apa yang dimaksud dengan “asal usul”.

Meskipun asal usul wayang belum dapat ditentukan dengan pasti, penulis akan mencoba menguraikannya berdasarkan sumber data pustaka. Catatan tertua yang menyatakan kehadiran pertunjukan yang disebut “wayang” di Jawa Tengah berasal dari tahun 907 A.D. Sebuah prasasti batu yang dikeluarkan oleh Raja Balitung menyebut pertunjukan wayang sebagaimawayang. Hal itu tak dapat dibuktikan apakah yang dimaksud mawayang ini sungguh-sungguh sebuah pertunjukan wayang sebagaimana yang dikenal sekarang atau bukan.

Selain itu ada pendapat yang mengemukakan bahwa pertunjukan wayang pada awalnya diperuntukkan sebagai sarana menyembah roh-roh leluhur. Wayang juga dijadikan sebagai alat penyebaran agama Hindu. Ketika agama Islam datang yang disebar luaskan oleh para Wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo, wayang dimanfaatkan sebagai media penyebaran agama Islam, khususnya kepada masyarakat Jawa. Mereka yang menggemari wayang, dipersilahkan menonton dan masuk Islam. Ini membuktikan bahwa pada masanya, wayang merupakan media populer yang efektif sebagai media hiburan, pembawa berita atau informasi.

Sementara di lingkungan budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 (896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang. Sejak masa lampau, pertunjukan wayang kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Pertunjukan wayang kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabarata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial. Dari situ masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton, ajaran-ajaran dalam pementasan wayang ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan R. M. Soedarsono, MSPI Bandung, 2000. p. 166.

Sejarah Penyebaran Wayang
Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayang-bayang atau bayangan. Wayang waktu itu berarti mempertunjukkan bayangan yang selanjutnya menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang.1)
Wayang kulit adalah salah satu jenis wayang yang ada di Indonesia, yang berarti gambar atau tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari kulit, kayu dan lain-lain untuk mempertunjukkan suatu lakon.
Wayang kulit dalam bentuk aslinya dipergunakan untuk upacara agama. Pada abad ke-11 sudah mulai populer di kalangan rakyat. Sejak tahun 1058, bahkan sejak tahun 778 atau lebih tua lagi, sudah ada wayang atau ringgit. Angka tahun 1058 disalin oleh Brandes berdasarkan angka tahun dalam prasasti di Bali yang memberikan bukti adanya pertunjukan wayang.2)
Pada periode penyebaran agama Islam di Jawa, para muballigh (wali songo) dalam menjalankan dakwah Islam telah memakai alat berupa wayang kulit. Salah seorang wali songo yang piawai memainkan wayang kulit sebagai media penyebaran Islam adalah Sunan Kalijaga. Mengingat cerita itu sarat dengan unsur Hindu-Budha, maka Sunan Kalijaga berusaha memasukkan unsur-unsur Islam dalam pewayangan. Ajaran-ajaran dan jiwa keIslaman itu dimasukkan sedikit demi sedikit. Bahkan lakon atau kisah dalam pewayangan tetap mengambil cerita Pandawa dan Kurawa yang mengandung ajaran kebaikan dan keburukan.
Nyoman S. Pendit mengemukakan bahwa:
“Demikianlah dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga dikenal sebagai kitab Weda yang ke-V (Rigweda ke-I, Samawda ke-II, Yayurweda ke-III, dan Atharwaweda ke-IV), lebih-lebih karena mengandung Bhagawadgita, yang dipandang sebagai Al-Qur’an atau kitab Injilnya penganut agama Hindu, ….3)
Kondisi inilah yang mendorong para muballigh merombak bentuk wayang kulit dan memasukkan unsur baru berupa ajaran Islam dengan membuat “Pakem Pewayangan Baru”nsur baru berupa ajaran Islam dengan membuat “Pakem Pewayangan Baru” yang bernafaskan Islam, seperti cerita Jimat Kalimasodo, atau dengan cara menyelipkan ajaran Islam dalam pakem pewayangan yang asli. Dengan demikian masyarakat yang menonton wayang dapat menerima langsung ajaran Islam dengan sukarela dan mudah.4)
Menurut adat kebiasaan, setiap tahun diadakan perayaan Maulid Nabi di serambi Masjid Demak yang diramaikan dengan rebana (terbangan), gamelan dan pertunjukan wayang kulit. Untuk menarik rakyat, di serambi dihiasi beraneka ragam hiasan bunga-bungaan yang indah.
Untuk mengumpulkan masyarakat di sekitar, pertama-tama ditabuhlah gong bertalu-talu yang suaranya kedengaran dimana-mana. Kebiasaan masyarakat Jawa pada masa itu apabila mendengar bunyi-bunyian, mereka pun berdatangan. Mereka masuk melalui gapura yang dijaga para wali. Kepada mereka dikatakan bahwa siapa saja yang mau lewat gapura dosanya akan diampuni sebab dia telah masuk Islam. Dengan catatan bahwa orang yang memasuki gapura harus membaca syahadat. Setelah mengambil air wudhu di sebelah kiri kolam, mereka dibolehkan masuk masjid untuk mendengarkan cerita-cerita wayang gubahan para wali yang bernafaskan nilai-nilai keIslaman. Bila waktu shalat tiba, mereka diajak shalat dipimpin oleh wali.5)
Dalam pertunjukan wayang, dalang mempunyai peranan paling utama sehingga mereka harus menguasai teknik perkeliran (pertunjukan wayang kulit) dengan baik di bidang seni sastra, seni karuwitan, seni menggerakkan boneka-boneka wayang kulitnya, maupun penjiwaan karakter wayang serta harus terampil dalam membawakan lakon-lakon.6)
Dalang sebagai juru dakwah harus mampu melaksanakan tugasnya dalam memberi penerangan agama. Untuk melaksanakan tujuan dakwah melalui pewayangan dan agar mudah diterima oleh masyarakat, maka para muballigh menggunakan simbol atau filsafat.
Wayang kulit penuh dengan simbolik. Dalam pertunjukannya menggambarkan perjalanan hidup manusia, yakni manusia yang mencari keinsyafan akan sangkan-parannya, bukan manusia yang hanya hidup dan tidak mati.7) Gambaran yang jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh dalang yakni menceriterakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.
Pada cerita “Jimat Kalimosodo”, bahwa Jimat Kalimosodo adalah senjata ampuh milik Prabu Darmokusumo (Yudistira). Dalam cerita dilukiskan Puntadewa sebagai seorang raja yang berbudi pekerti luhur sebagai manifestasi kalimat syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Jimat ini dimiliki oleh keluarga yang baik, seperti keluarga Pandawa. Istilah Pandawa Lima sering diartikan sebagai rukun Islam yang lima.
Salah satu perlengkapan wayang yang disebut Gunungan atau Kayon memiliki makna simbolis. Kayon menyerupai bentuk masjid, apabila dibalik akan menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam kehidupan umat Islam, jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid.
Kreativitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media penyebaran Islam yang efektif tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa. Selain itu para wali juga berjasa dalam mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk kesenian pentas yang merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar jauh ke masa lalu dan cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa ke masa.

Demikian artikel tentang Sejarah Perkembangan Wayang dan Jenisnya. Semoga bermanfaat

Load comments