Ngomong ngomong tentang budaya jawa, isapa sih yang tdak kenal wayang. langsung saja ke pengertian wayang
en.wikipedia.com
WAYANG KULIT
Pagelaran
wayang kulit oleh dalang terkemuka di Indonesia, Ki Manteb Sudharsono.
Wayang
kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.
Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual,
dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah
bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga
bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang
kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog
tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan
sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain
putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak
(blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat
melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang
(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang
bayangannya tampil di layar.
Secara
umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak
dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan
lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan
wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai
karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ).
Wayang kulit lebih populer di Jawabagian tengah dan timur, sedangkan wayang
golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
Wayang
klithik
Wayang
klithik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang
mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit.
Wayang
ini pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik, adipati Surabaya, dari bahan
kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan wayang krucil.
Munculnya wayang menak yang terbuat dari kayu, membuat Sunan Pakubuwana II
kemudian menciptakan wayang klithik yang terbuat dari kayu yang pipih (dua
dimensi). Tangan wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda dengan
wayang lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang terbuat dari kayu. Apabila
pentas menimbulkan bunyi "klithik, klithik" yang diyakini sebagai
asal mula istilah penyebutan wayang klithik.
Di
Jawa Tengah wayang klithik memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog.
Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala
tekes (kipas). Di Jawa Timurtokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang purwa,
raja-rajanya bermahkota dan memakaipraba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya
bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
Repertoar
cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita
wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita
wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan.
Cerita
yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil dari zaman Panji
Kudalaleyan diPajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan wayang krucil memakai cerita wayang purwa
dan wayang menak, bahkan dari Babad Tanah Jawi sekalipun.
Gamelan
yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana,
berlarasslendro dan berirama playon bangomati (srepegan). Ada kalanya wayang
klithik menggunakan gending-gending besar.
Wayang
golek
Wayang
Golek Sunda
Wayang
Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu, yang
terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan.
Wayang
beber
Wayang
beber menampilkan adegan pertempuran
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul
dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah
daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran
lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik
Mahabharata maupun Ramayana.
Wayang
beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada masa kerajaan Majapahit.
Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas,
kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita.
Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa
kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih
menyimpan dan memainkan wayang beber ini.[1]
Konon
oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi
bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamen yang
dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup
(manusia, hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada.
Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan
ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.
Salah
satu Wayang Beber tua ditemukan di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini
dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan
tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka
percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan
juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan ada di
Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul.
Menurut
Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun 1283, dengan Condro
Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283), Kemudian dilanjutkan oleh
Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang
beber. Wayang Beber juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji
Asmoro Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.
Pengertian
wayang thengul
Wayang
thengul. Thengul berasal dari bahasa jawa 'methentheng terus methungul'.
Merupakan budaya asli kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Wayang thengul biasanya
dimainkan pada acara hajatan sunat, perkawinan dan ruwatan. Dalam setiap
pementasan ada sebuah mitos tentang lakon yang tidak boleh dipentaskan dan
menjadi pantangan yang berlaku di daerah-daerah tertentu, tak ubahnya pantangan
dalam pertunjukan kethoprak ataupun wayang kulit. Lakon-lakon yang tidak boleh
dimainkan di daerah daerah tertentu antara lain lakon Ranggalawe gugur tidak
boleh dipentaskan di daerah Tuban, Anglingdarma di daerah Bojonegoro dan Arya
Panangsang di daerah Cepu.
Wayang
thengul sendiri lebih dekat dengan wayang menak seperti kisah Panji dan
Damarwulan, bahkan Wali Sanga pun kerap kali dipentaskan dan menjadi lakon
favorit masyarakat.
Wayang
tengul merupakan wayang berbentuk boneka yang terbuat dari kayu, mirip dengan
wayang golek.
Wayang
timplong
Wayang
Timplong adalah sejenis kesenian wayang dari daerah Nganjuk, Jawa Timur.
Kesenian
tradisional ini konon mulai ada sejak tahun 1910 dari Dusun Kedung Bajul Desa
Jetis, Kecamatan Pace, provinsi Jawa Timur. Wayang ini terbuat dari kayu, baik
kayu waru, mentaos, maupun pinus. Instrumen gamelan yang digunakan sebagai
musik pengiring, juga sangat sederhana. Hanya terdiri dari Gambang yang terbuat
dari kayu atau bambu, ketuk kenong, kempul dan kendang
Wayang
orang
Pandawa
dan Kresna dalam suatu adegan pagelaran wayang wong.
Gedung
Sriwedari Solo, tempat pagelaran Wayang orang
Wayang
orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang
dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.
Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.
Sesuai
dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan
memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan
kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia
sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama
seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau
bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering
kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau
lukisan.
Pertunjukan
wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata
(di kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari
Solo, Taman Budaya Raden Saleh Semarang, dan lain-lain.
Sejarah
Wayang
Menguraikan
penjelasan tentang kronologi sejarah wayang pada umumnya dan sejarah Wayang
Menak Sasak khususnya, dimaksudkan untuk membantu memberikan gambaran umum
tentang perubahan fungsi wayang dalam masyarakat Sasak. Kronologi historis yang
dapat disajikan di sini bersifat diakronik (sejarah urutan peristiwa) dan
dengan mengandalkan data-data sekunder, semisal penuturan lisan beberapa
pengamat budaya di Lombok dan sumber-sumber data tertulis dari para pengkaji
wayang.
Sekedar
catatan, sumber data mengenai sejarah Wayang Menak Sasak dari penuturan lisan
dan tulisan babad ini lebih banyak yang dapat dijumpai bersifat spekulasi.
Karenanya, terkadang data lisan yang diberikan nara sumber lebih tampak sebagai
suatu dongengan daripada sebuah fakta sejarah. Meskipun demikian, keberadaan
dongeng sebagai cara menuturkan peristiwa masa lalu, bukan sesuatu yang mesti
diabaikan. Kemauan untuk memungut dongeng sebagai bahan data bukan pertama-tama
berangkat dari kehendak untuk mendapatkan validitas fakta, sebab di dalam
dongeng validitas fakta diragukan. Memungut dongeng sebagai data lebih
dikarenakan oleh kenyataan bahwa mendongeng adalah cara masyarakat –khususnya
yang belum mapan dalam tradisi tulis— mengkonstruksi realitas masa lalu. Karena
itu, meski data dari sumber lisan yang bersifat spekulasi (dongengan) ini
diragukan kebenarannya, paling tidak penuturan itu telah sedikit memberi satu
peluang untuk mengetahui bahwa sebuah peristiwa pernah terjadi pada masa itu.
Sejarah
dan perkembangan wayang kulit
Asal-usul
wayang kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli. Belum
ada kesepakatan tentang apakah Wayang Kulit merupakan kesenian asli Indonesia,
dari India atau dari negara lain. Kerancuan dalam menentukan asal usul wayang
ini juga disebabkan perbedaan konsep tentang apa yang dimaksud dengan “asal
usul”.
Meskipun
asal usul wayang belum dapat ditentukan dengan pasti, penulis akan mencoba
menguraikannya berdasarkan sumber data pustaka. Catatan tertua yang menyatakan
kehadiran pertunjukan yang disebut “wayang” di Jawa Tengah berasal dari tahun
907 A.D. Sebuah prasasti batu yang dikeluarkan oleh Raja Balitung menyebut
pertunjukan wayang sebagaimawayang. Hal itu tak dapat dibuktikan apakah yang
dimaksud mawayang ini sungguh-sungguh sebuah pertunjukan wayang sebagaimana
yang dikenal sekarang atau bukan.
Selain
itu ada pendapat yang mengemukakan bahwa pertunjukan wayang pada awalnya
diperuntukkan sebagai sarana menyembah roh-roh leluhur. Wayang juga dijadikan
sebagai alat penyebaran agama Hindu. Ketika agama Islam datang yang disebar
luaskan oleh para Wali yang tergabung dalam kelompok Wali Songo, wayang
dimanfaatkan sebagai media penyebaran agama Islam, khususnya kepada masyarakat
Jawa. Mereka yang menggemari wayang, dipersilahkan menonton dan masuk Islam.
Ini membuktikan bahwa pada masanya, wayang merupakan media populer yang efektif
sebagai media hiburan, pembawa berita atau informasi.
Sementara
di lingkungan budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada
sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818
(896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah
istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang.
Sejak masa lampau, pertunjukan wayang kulit menjadi salah satu media pendidikan
informal bagi warga masyarakat. Pertunjukan wayang kulit yang memadukan
berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak
saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra
klasik terutama Mahabarata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan
petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial. Dari situ
masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika
dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton, ajaran-ajaran dalam pementasan wayang
ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Claire
Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan R. M.
Soedarsono, MSPI Bandung, 2000. p. 166.
Sejarah
Penyebaran Wayang
Kata
wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayang-bayang
atau bayangan. Wayang waktu itu berarti mempertunjukkan bayangan yang
selanjutnya menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang.1)
Wayang
kulit adalah salah satu jenis wayang yang ada di Indonesia, yang berarti gambar
atau tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari kulit, kayu dan lain-lain
untuk mempertunjukkan suatu lakon.
Wayang
kulit dalam bentuk aslinya dipergunakan untuk upacara agama. Pada abad ke-11
sudah mulai populer di kalangan rakyat. Sejak tahun 1058, bahkan sejak tahun
778 atau lebih tua lagi, sudah ada wayang atau ringgit. Angka tahun 1058
disalin oleh Brandes berdasarkan angka tahun dalam prasasti di Bali yang
memberikan bukti adanya pertunjukan wayang.2)
Pada
periode penyebaran agama Islam di Jawa, para muballigh (wali songo) dalam
menjalankan dakwah Islam telah memakai alat berupa wayang kulit. Salah seorang
wali songo yang piawai memainkan wayang kulit sebagai media penyebaran Islam
adalah Sunan Kalijaga. Mengingat cerita itu sarat dengan unsur Hindu-Budha,
maka Sunan Kalijaga berusaha memasukkan unsur-unsur Islam dalam pewayangan.
Ajaran-ajaran dan jiwa keIslaman itu dimasukkan sedikit demi sedikit. Bahkan
lakon atau kisah dalam pewayangan tetap mengambil cerita Pandawa dan Kurawa
yang mengandung ajaran kebaikan dan keburukan.
Nyoman
S. Pendit mengemukakan bahwa:
“Demikianlah
dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga dikenal sebagai kitab Weda yang
ke-V (Rigweda ke-I, Samawda ke-II, Yayurweda ke-III, dan Atharwaweda ke-IV),
lebih-lebih karena mengandung Bhagawadgita, yang dipandang sebagai Al-Qur’an
atau kitab Injilnya penganut agama Hindu, ….3)
Kondisi
inilah yang mendorong para muballigh merombak bentuk wayang kulit dan
memasukkan unsur baru berupa ajaran Islam dengan membuat “Pakem Pewayangan
Baru”nsur baru berupa ajaran Islam dengan membuat “Pakem Pewayangan Baru” yang
bernafaskan Islam, seperti cerita Jimat Kalimasodo, atau dengan cara
menyelipkan ajaran Islam dalam pakem pewayangan yang asli. Dengan demikian
masyarakat yang menonton wayang dapat menerima langsung ajaran Islam dengan
sukarela dan mudah.4)
Menurut
adat kebiasaan, setiap tahun diadakan perayaan Maulid Nabi di serambi Masjid
Demak yang diramaikan dengan rebana (terbangan), gamelan dan pertunjukan wayang
kulit. Untuk menarik rakyat, di serambi dihiasi beraneka ragam hiasan
bunga-bungaan yang indah.
Untuk
mengumpulkan masyarakat di sekitar, pertama-tama ditabuhlah gong bertalu-talu
yang suaranya kedengaran dimana-mana. Kebiasaan masyarakat Jawa pada masa itu
apabila mendengar bunyi-bunyian, mereka pun berdatangan. Mereka masuk melalui
gapura yang dijaga para wali. Kepada mereka dikatakan bahwa siapa saja yang mau
lewat gapura dosanya akan diampuni sebab dia telah masuk Islam. Dengan catatan
bahwa orang yang memasuki gapura harus membaca syahadat. Setelah mengambil air
wudhu di sebelah kiri kolam, mereka dibolehkan masuk masjid untuk mendengarkan
cerita-cerita wayang gubahan para wali yang bernafaskan nilai-nilai keIslaman.
Bila waktu shalat tiba, mereka diajak shalat dipimpin oleh wali.5)
Dalam
pertunjukan wayang, dalang mempunyai peranan paling utama sehingga mereka harus
menguasai teknik perkeliran (pertunjukan wayang kulit) dengan baik di bidang
seni sastra, seni karuwitan, seni menggerakkan boneka-boneka wayang kulitnya,
maupun penjiwaan karakter wayang serta harus terampil dalam membawakan
lakon-lakon.6)
Dalang
sebagai juru dakwah harus mampu melaksanakan tugasnya dalam memberi penerangan
agama. Untuk melaksanakan tujuan dakwah melalui pewayangan dan agar mudah
diterima oleh masyarakat, maka para muballigh menggunakan simbol atau filsafat.
Wayang
kulit penuh dengan simbolik. Dalam pertunjukannya menggambarkan perjalanan
hidup manusia, yakni manusia yang mencari keinsyafan akan sangkan-parannya,
bukan manusia yang hanya hidup dan tidak mati.7) Gambaran yang jelas dapat
dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh dalang yakni menceriterakan
perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.
Pada
cerita “Jimat Kalimosodo”, bahwa Jimat Kalimosodo adalah senjata ampuh milik
Prabu Darmokusumo (Yudistira). Dalam cerita dilukiskan Puntadewa sebagai
seorang raja yang berbudi pekerti luhur sebagai manifestasi kalimat syahadat
yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Jimat ini dimiliki oleh
keluarga yang baik, seperti keluarga Pandawa. Istilah Pandawa Lima sering
diartikan sebagai rukun Islam yang lima.
Salah
satu perlengkapan wayang yang disebut Gunungan atau Kayon memiliki makna
simbolis. Kayon menyerupai bentuk masjid, apabila dibalik akan menyerupai
jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam kehidupan umat Islam,
jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid.
Kreativitas para wali
memanfaatkan budaya setempat sebagai media penyebaran Islam yang efektif
tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa. Selain
itu para wali juga berjasa dalam mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk
kesenian pentas yang merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah
berakar jauh ke masa lalu dan cukup banyak mengalami pertumbuhan dan
penyempurnaan dari masa ke masa.Demikian artikel tentang Sejarah Perkembangan Wayang dan Jenisnya. Semoga bermanfaat